Catatan Perjalanan Ke Merapi

Kenangan manis itu tak mungkin terlupakan.kang-tarom Meski waktu terus berlalu, hari berganti, namun, perjalanan menuju Kaliadem, sebuah lokasi yang berada di lereng Gunung Merapi, Yogyakarta akan terus membekas.


Plesir ke lokasi bekas semburan lava Merapi, merupakan salah satu agenda Workshop Jurnalisme Tanggap Bencana yang saya ikuti. Workshop itu sendiri diselenggarakan oleh FPRB (Forum Pengurangan Risiko Bencana) Yogyakarta bekerja sama dengan Plan dan Circle Indonesia.


Yang membuat saya bangga, dari 30 peserta yang terdiri dari 25 wartawan berbagai media, serta 5 orang dari unsur LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), saya merupakan satu-satunya wartawan asal Kabupaten Rembang yang mengikuti kegiatan workshop tersebut.


Dengan membawa bendera “Sulang Online”, saya berbaur dengan rekan-rekan pemburu berita lain. Duh senengnya, bisa nambah ilmu plus bisa jalan jalan di Kota Gudeg nih!


Semua rangkaian kegiatan workshop yang diselenggarakan di Jayakarta Hotel Yogyakarta pada 27-28 Juni silam, saya lahap habis tak tersisa. Selama dua hari, kegiatan-kegiatan lebih banyak diisi dengan diskusi-diskusi tentang membangun kesadaran pengurangan risiko bencana bagi jurnalis.


Pokoknya, seru banget dech! Setiap diskusi selalu menghadirkan nara sumber top dari berbagai kalangan sesuai materi kajian. Ada yang dari akademisi, Bappenas, korban bencana , wartawan senior dan lain-lain. Pokoknya semua komplit.


Menurut kajian-kajian dan analisis para pakar yang saya ikuti, ternyata Kabupaten Rembang merupakan salah satu daerah rawan bencana. Bukannya nakut-nakuti lho. Tapi ini lebih didasarkan pada analisis ilmiah.


Kemarau dan kekeringan, banjir bandang, jelas merupakan ancaman bencana bagi Rembang. Ditambah ancaman tsunami, karena memang Rembang mempunyai lautan yang membentang luas yang sewaktu-waktu bisa tak bersahabat.


Yap! Itu memang analisa yang tak mengada-ada. Tanpa kita sadari, ternyata bumi yang kita pijak dan tempati, tak benar-benar aman bagi kita. Jadi kita mesti Eling, Waspada lan Digdaya Ngadepi Bebaya. Karena, sewaktu-waktu bencana itu bisa terjadi. Kapanpun dan dimanapun. Wallohu a’lam.


Oh ya, selama disana banyak banget kegiatannya. Namun yang paling mengesankan, adalah saat kajian langsung ke lokasi bencana. Teman-teman wartawan sering menyebutnya dengan istilah Press tour bencana.


Lokasi yang dituju adalah Lava Tour Kaliadem, sebuah lokasi yang menjadi alur semburan lava dari Gunung Merapi yang terakhir erupsi (meletus) pada 2006 silam.


Sabtu (28/6) sekitar jam dua siang, saya dan teman-teman meninggalkan Jayakarta Hotel dengan menggunakan lima mobil Kijang Inova. Setelah satu setengah jam perjalanan menyusuri jalan yang berkelak-kelok, rombongan sampai pada lokasi Lava Tour Kaliadem.


Oleh pemandu, kami dikenalkan banyak lokasi. Salah satunya adalah bunker penyelamatan yang pada 2006 silam sempat merenggut dua nyawa. Sayang, bunker itu tak lagi bisa dibuka karena tertimbun material pasir dari erupsi Merapi. Kami hanya dapat menelanjangi desain bunker itu dari luar.


Disekitar bunker, masih tampak puing-puing bangunan yang porak-poranda di hajar material Gunung Merapi. Bongkahan batu-batu besar, dan pasir hitam berserak di mana-mana.


Dari semburan material Merapi tersebut, penduduk lereng Merapi mengais rejeki. Mereka ada yang kembali menggarap lahan pertaniannya yang tambah subur karena debu vulkanik, sebagian lagi berprofesi sebagai penambang pasir tradisional dan penambang material lain.


Habis muter-muter di Kaliadem, saya dan rombongan menyempatkan diri mampir ke rumah Mbah Marijan, juru kunci Gunung Merapi. Hanya berjalan kaki beberapa ratus meter dari bunker, kami telah sampai di halaman rumah Mbah Marijan.


Dengan tersenyum ramah, kakek yang ngetop dengan slogan roso-rosonya itu, mempersilahkan kami duduk. Rumah Mbah Marijan cukup sederhana. Di dinding rumah berjajar pajangan foto-foto Raja Keraton Ngayogyokarto, lengkap dari dinasti I sampai Hamengku Buwono IX.


Dalam deretan foto tersebut, entah mengapa tak terdapat foto Sultan Hamengku Buwono X? “Ah peduli amat!” gumamku dalam hati.


Di sebelah kanan rumah Mbah Marijan, nampak sebuah masjid yang berdiri kokoh. Meski bangunannya tak besar, namun tetap terlihat gagah. Di depan masjid, nampak bangunan yang dipergunakan untuk ngaji. Mungkin kalau di Rembang sering disebut TPA (Taman Pelajar Al-Qur’an).


Kami lama berbincang dengan Mbah Marijan seputar bencana Merapi, pengungsian dan respon masyarakat terhadap erupsi. Sayangnya, kakek yang membintangi salah satu produk minuman suplemen ini, tak bersedia diambil gambarnya alias difoto.


“Ampun di foto! Nek pengen moto kulo, cekap moto gambar neko mawon!” pintanya dengan logat khas jogja seraya menunjuk gambar fotonya yang terpajang di dinding.


Sontak saja, aba-aba Mbah Marijan menghentikan ulah teman-teman fotografer yang sudah ancang-ancang mengarahkan moncong kameranya. “Wah sulit banget sih, difoto saja nolak!” gumam Mas Zen, salah seorang fotografer yang duduk disebelahku setengah berbisik. Kecewa nih!


Tak lama berselang saya dan rombongan berpamitan. Kami tak sempat foto bareng Mbah Marijan. Mbah Marijan selalu menolak dengan tegas setiap ajakan kami. Hari beringsut petang. Saya beserta rombongan memutuskan untuk kembali ke hotel tempat kami bermalam.


Dari perjalanan ini, ada sesuatu yang sangan mengesankan bagi saya. Tentang semangat hidup masyarakat Merapi. Mereka tak pernah menyerah. Mereka tak pernah takut menghadapi bencana.


Mereka menganggap bencana merupakan sesuatu yang harus disikapi bukan ditakuti. Semangat itulah yang membuat mereka mampu bertahan. Sanggupkah kita menirunya??


Tulisan ini pernah dimuat di Sulang onlinedan majalah Pantura Pos Rembang

Comments

Popular posts from this blog

Sayyid Hamzah as-Syato, Penyebar Islam di Sedan

Segarnya Siwalan dan Legen Sulang

Jual Mukena Shalat Berkualitas